Monday, March 10, 2008

Di kesendirianku...

Sudah beberapa malam aku tidak bisa tidur. Mata susah sekali terpejam karena banyak yang melintas di pikiran, terutama mengenai diri sendiri. Waktu untuk merefleksikan diri. Kalau dipikir-pikir, sudah tidak terhitung berapa kali aku melakukan pembicaraan dengan diri sendiri. Kebiasaan yang terbentuk dari keadaan "terisolasi" dalam waktu cukup lama. Cukup lama untuk membuat itu menjadi sebuah kebiasaan. Beberapa malam terakhir aku menyadari sesuatu hal yang kurang dari diriku. Aku sudah terpisahkan dari jalur kehidupan yang seharusnya kujalani sejak dulu. Jalur Mimpi. Kata yang mudah diucapkan namun untuk menggapainya diperlukan pengorbanan yang berisikan airmata dan keringat. Tentu saja bukan tidak mungkin, hanya seringkali orang-orang tidak mengambil jalur ini karena terlalu "sulit". Apakah sulit? Ya, sangat. Ini hal yang kusadari 5 tahun yang lalu, 3 tahun yang lalu, 1 tahun yang lalu, dan beberapa malam yang lalu. Hanya saja hal ini terus mengganggu pikiranku, sepertinya ia memaksakan diri untuk terus dilihat. Mimpi mendekatiku, dan merayuku untuk kupenuhi. Mimpi begitu menggoda dan nakal, sekaligus sangat indah. Tanpa sadar aku terbujuk untuk terus mendekatinya. Sekarang aku sudah terikat kontrak dengan Mimpi, tidak mungkin berbalik arah. Tidak mungkin menjadi orang yang sama terus. tapi, apakah aku ingin jadi orang yang berbeda? tidak tahu. Sebuah Dilema datang menghantuiku sekarang. Hidup sebagai orang yang biasa-biasa saja atau Hidup mengejar impian? Pilihan yang sulit. Percaya atau tidak, bagi seorang umur 20 tahunan, ini adalah masa paling sulit. Masa untuk membuat keputusan, Masa untuk menyempurnakan rencana hidup, Masa untuk membuat pilihan. Benar-benar masa yang sulit. 5 tahun terakhir, aku sudah memilih untuk Hidup mengejar impian. Mempunyai impian adalah suatu kesenangan tersendiri. Namun, dalam 5 tahun terakhir, harga yang sudah dibayar pun amat besar. Terutama harga dari sebuah pertemanan. Tak terhitung sudah berapa kali aku memilih untuk tidak terlibat lebih jauh dalam hubungan emosional dengan orang lain. Sibuk sendiri, belajar menyempurnakan diri agar mantap mengejar mimpi. Sungguh suatu harga yang harus dibayar mahal. Dalam hati aku menginginkan suatu pertemanan yang wajar. Bercanda tentang sesuatu yang tidak penting. Menertawai kebodohan diri sendiri saat salah merespon teman. Percakapan tentang sesuatu yang semua orang tahu. Menelpon lebih dari 2 jam hanya untuk cerita tentang pria yang disukai. Dalam hati aku menginginkan semua itu. Tapi lagi-lagi aku terjebak dalam pilihan : Hidup yang wajar atau Hidup berusaha mengejar impian? dan lagi-lagi aku memilih pilihan kedua. Pilihan yang sulit. Tak terhitung berapa kali aku menangis dalam kesendirian, seakan menyesali pilihan... tapi setelahnya kembali memantapkan hati untuk mengejar impian. Sekarang buat apa mengeluh, kalau memang itu sudah menjadi pilihan. Lagi-lagi manusia memang makhluk yang tidak pernah puas. Aku tidak puas. Serakah. Mau dapat semuanya, tapi Tuhan tidak memberikan semuanya dengan gratis.

Barusan saja aku membaca blog seorang teman. Ia menceritakan kejadian seminggu terakhir saat mencari kado untuk temannya yang ulangtahun, lalu kemudian memberikan pada teman tersebut. Sesuatu yang telah lama hilang dari kehidupanku. Membaca ceritanya menjadi pelipur lara. Mungkin itu rasanya mempunyai teman yang bisa diberikan hadiah. Pendek sekali pikiranku. Aku punya banyak orang yang bisa dijadikan teman, tapi kenapa harus menjaga jarak? Apakah terlibat dalam suatu hubungan pertemanan adalah sesuatu yang salah? Tidak. Tapi aku ingat suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu, yang membuatku susah sekali percaya dengan orang lain. Sudah berulang kali aku menjaga jarak, berbicara seperlunya, tertawa seperlunya. Seandainya orang-orang tahu ini, pasti mereka akan kesal padaku. Kembali ke blog temanku, karena membaca tulisannya aku terjebak dalam dilema lagi. Hidup yang wajar-wajar saja atau Hidup mengejar impian? Pertanyaan ini sedang berputar-putar dikepalaku. Mengetuk-mengetuk otakku seakan memaksaku untuk cepat menjawab. Ada kecendrungan aku akan memilih pilihan kedua lagi. Pilihan yang secara konsisten terus menghantuiku hampir 6 tahun terakhir. Dengan demikian, akan ada pengorbanan yang lebih besar. Ingat kata-kata seseorang bahwa "salah satu harus dikorbankan". Aku benci sekali kata-kata itu walaupun selalu mengamininya. Sayangnya kata-kata beliau selalu tepat. Aku benci sekali mengorbankan banyak hal. tapi seseorang bilang "kita dapat tumbuh besar dengan pengorbanan yang setimpal". Aku ingin tumbuh besar, walaupun dengan menangis sepanjang malam karena pengorbanan yang sudah terlalu besar. Di kesendirianku ini... aku menyadari betapa hal-hal tersebut dapat menimbulkan pedih. Sekarang aku hanya bisa berjalan ke depan, betapapun sulitnya... Hidup mengejar impian..

Jadi kangen dengan semua temanku.....

1 Comments:

At March 12, 2008 at 4:48 PM , Blogger Rizal Affif said...

You know, I was much like you when first time we met. But then I met The Princess, and she led me back to affiliative way of life. For a moment I was thrilled with excitement, but then I began losing direction, and I started to regret my deviation from my dream...

... hingga suatu hari, gua mendengar seorang juru bicara "The Secret" di Oprah: hidup yang baik adalah hidup yang seimbang. Seimbang dalam segala hal. Bukan mencuat dalam satu hal dan kehilangan hal yang lainnya.

Haruskah kita menderita untuk mencapai impian kita? Entah kenapa, manusia begitu mengagungkan penderitaan, dan memusuhi kebahagiaan. Bagi Osho, manusia yang mengagungkan penderitaan adalah manusia yang iri pada kebahagiaan, tetapi merasa tidak mampu mencapainya, lantas meyakinkan diri sendiri bahwa penderitaanlah yang baik. Tapi yang terbaik, tentu saja, adalah kebahagiaan. Penderitaan hanya melahirkan penderitaan; kebahagiaan mendatangkan banyak energi positif yang memampukan kita meraih banyak hal.

Sekarang, gua berusaha menyeimbangkan keduanya. Bukan membabi-buta mengejar mimpi, lalu mengorbankan kebahagiaan berelasi dengan banyak manusia. Tapi juga bukan hanyut dalam konformitas dan kehilangan arah. Gua tahu ada pilihan yang menyenangkan: kita bisa berdiri di antaranya dan meraih dua-duanya.

To be honest I'm not really able to keep them balanced. But it's a lifetime learning, and I'm willing to do it. Because I know, losing either of them is not a good way of life. I'll always keep them balanced, so I can life to the fullest ;p

p.s. Coba baca "Tuesdays with Morrie"... u'll understand :)

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home